Pertanyaan:

Di tempat saya ada seorang ibu yang punya anak kecil, karena anak itu baru berusia 2 bulan maka masih disusui. Pada waktu bulan Ramadhan, si ibu tersebut tidak berpuasa dengan alasan takut mengganggu kesehatan anaknya. Setelah selesai Ramadhan, tahu-tahu suaminya yang menggantikan qada puasa isterinya. Sewaktu saya tanyakan, alasannya sama seperti semula yaitu takut mengganggu kesehatan anaknya. Adapun yang saya tanyakan apakah boleh/sah suami menggantikan qada puasa isterinya tersebut, dan apa dasar hukumnya?

Rahmadi Abdul Fathah, d/a SMU Tanah Bumbu, Satui, Kotabaru, Kal-Sel, 72125

Jawaban:

Ada dua kelompok orang yang diperbolehkan meninggalkan puasa Ramadhan. Pertama, orang yang sedang bepergian atau karena sakit. Mereka ini boleh tidak berpuasa tapi harus mengqada setelah bulan Ramadhan sebanyak hari yang ia tinggalkan. Kedua, orang yang tidak mampu puasa karena usianya sudah sangat tua, atau orang yang pekerjaannya sangat berat, atau orang yang sakit menahun/kronis yang tidak ada harapan untuk sembuh. Demikian juga wanita yang sedang hamil dan menyusui. Kelompok yang kedua ini boleh tidak puasa Ramadhan, tetapi harus membayar fidyah, yaitu memberi makanan kepada seorang fakir miskin setiap hari Ramadhan, lebih lanjut lihat Berita Resmi Muhammadiyah (BRM) No. 03/ 1995-2000, Rajab 1416/ Desember 1995. Dasar hukumnya yaitu firman Allah surat al-Baqarah ayat 184-185, juga hadits nabi rawahul khomsah yang menyebutkan:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: إِنَّ اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَ شَطْرَ الصَّلَاةِ وَ عَنِ الْحُبْلَى وَ الْمُرْضِعِ الصَّوْمَ  (رواه الخمسة)

Artinya: Bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Sungguh Allah Yang Maha Besar dan Maha Mulia telah membebaskan puasa dan separuh salat bagi orang yang sedang bepergian serta membebaskan puasa bagi orang yang hamil dan menyusui.

Atas dasar ini maka bagi wanita yang sedang menyusui, seperti yang Saudara tanyakan boleh tidak puasa, tetapi harus membayar fidyah. Dengan ini pula maka perbuatan suami yang menggantikan qada puasa isterinya jelas tidak sah, karena kewajiban puasa dari orang yang masih hidup tidak bisa digantikan oleh orang lain, sekalipun oleh suaminya atau anaknya. Orang yang bisa digantikan puasanya oleh orang lain yaitu oleh walinya ialah apabila ada orang yang meninggal dunia sedangkan ia punya kewajiban melakukan puasa wajib (puasa Ramadhan atau nadzar) dan belum sempat dilaksanakan, maka walinya atau anaknya menggantikan kewajiban puasanya tersebut. Hal ini seperti disebutkan dalam hadits nabi riwayat al-Bukhari dari Ibnu Abbas:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ صلى الله عليه و سلم فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَقْضِيْهِ عَنْهَا؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَدَيْنُ اللهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى (رواه البخارى)

Artinya: Seorang anak laki-laki datang menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian ia berkata, ya Rasulullah ibu saya telah wafat padahal ia punya kewajiban puasa satu bulan, apakah saya dapat berpuasa menggantikannya? Nabi menjawab: ya, selanjutnya nabi bersabda: hutang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan.

 

Lebih lanjut mengenai menggantikan kewajiban puasa orang yang meninggal dunia bisa dilihat dalam SM No. 11 dan 12 Tahun ke-81, bulan Juni tahun 1996.