Pertanyaan:

Sebagaimana diketahui, di negara kita ada Persyarikatan Muhammadiyah untuk dakwah amar makruf nahi mungkar. Sementara itu, di daerah kami masih bingung tentang zakat mal untuk Persyarikatan Muhammadiyah dalam rangka dakwah dan pembenahan organisasi. Mana yang harus didahulukan dalam penyaluran Zakat, Infak dan Shadaqah (ZIS)? Pada Kutipan buku Fiqh oleh Rasyid Ridha asnaf fi sabilillah justru di era sekarang diserahkan ke Persyarikatan untuk pengembangan Islam meskipun untuk individu fi sabilillahnya pun ada. Artinya untuk pengembangan Persyarikatan Muhammadiyah apakah boleh atau tidak bukan hanya individu?

Menurut Majelis Tarjih bagaimana agar kita lebih mantap untuk melangkah? Terima kasih banyak.

Pertanyaan Dari:
PRPM Losari-Rembang, Muhammadiyah, [email protected]
(disidangkan pada hari Jum’at, 13 Rabiulawal 1434 H / 25 Januari 2013)

Jawaban:

Terima kasih atas pertanyaan anda dan berikut ini jawabannya:

Dari susunan kata-kata anda dapat disimpulkan ada dua pertanyaan yang anda ajukan:

  1. Sasaran penerima manakah yang harus didahulukan dalam penyaluran zakat, infaq dan shadaqah (ZIS) yang dikumpulkan oleh Persyarikatan Muhammadiyah?
  2. Selain untuk individu, bolehkah Persyarikatan Muhammadiyah menerima bagian zakat fi sabilillah?

Sebelum menjawab pertanyaan pertama, perlu diketahui bahwa ada perbedaan antara arti dan hukum zakat, infaq dan shadaqah. Hal itu telah kami terangkan di majalah Suara Muhammadiyah No. 12 tahun 2009. Ringkasnya, kata zakat itu dipakai untuk menerangkan istilah agama yang telah kita kenal yaitu bersifat wajib, sedangkan infaq dan shadaqah itu mempunyai arti yang lebih luas dari zakat, karena mencakup yang wajib dan sunat. Meskipun dalam masyarakat kini kedua kata terakhir ini cenderung diartikan untuk sesuatu yang sunat.

Penerima zakat itu sudah ditentukan dalam al-Quran surat at-Taubah (9) ayat 60, yaitu ada delapan asnaf (golongan): fakir, miskin, amil, muallaf, hamba sahaya, orang yang berhutang, fi sabilillah dan ibnu sabil.

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” [QS. at-Taubah (9): 60]

Jadi zakat hendaknya hanya disalurkan secara terbatas kepada mereka saja. Kalau bisa semua golongan penerima zakat itu menerima zakat secara merata. Namun jika harta zakat tidak bisa mencakup mereka semua maka dibenarkan untuk diberikan kepada sebagian dari mereka dan didahulukan yang paling membutuhkannya.

Adapun penerima atau sasaran infaq dan shadaqah itu tidak ada batasannya seperti zakat di atas. Dengan demikian, Persyarikatan Muhammadiyah boleh menyalurkan atau menggunakannya untuk semua hal-hal yang baik seperti untuk keperluan dakwah, pendidikan, kesehatan dan lainnya.

Sedang jawaban pertanyaan kedua adalah seperti berikut: Bagian zakat fi sabilillah pada asalnya menurut para ulama adalah untuk berjihad atau berperang di jalan Allah. Namun karena kata fi sabilillah itu umum dan mencakup semua hal yang ditujukan untuk Allah, maka semua kebaikan yang ditujukan untuk Allah seperti dakwah, pendidikan, kesehatan dan lainnya itu juga dicakupinya. Dengan demikian maka Persyarikatan Muhammadiyah yang merupakan gerakan dakwah amar makruf nahi munkar dengan segala amal usahanya itu berhak dan layak mendapat bagian zakat fi sabilillah tersebut.

Jadi dapat disimpulkan di sini bahwa, Persyarikatan Muhammadiyah itu berhak menerima zakat.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Sumber: Majalah Suara Muhammadiyah, No. 06, 2013