Pertanyaan:

Dua orang suami istri yang menikah 17 tahun yang lalu dan hidup bersama kurang harmonis lantaran tidak punya keturunan dan istri sakit-sakitan. Bahkan istri sudah menjalani operasi kandungan 7 tahun lalu, dan dinyatakan oleh dokter kandungan (istri mandul). Dulu waktu laki-lakinya meminang berjanji akan hidup bersama (suami-istri) sampai tua. Namun setelah berjalan pernikahan itu 2 bulan, diketahui istrinya sakit keputihan yang menghalangi persetubuhan hingga sekarang. Dulu sebelum dilamar istri tidak pernah menceritakan penyakitnya itu, padahal kata istri penyakitnya itu diderita sejak ia duduk di bangku SMP hingga sekarang. Lantaran penyakitnya itu si istri pernah menyarankan suami untuk mencerai atau menikah lagi dengan wanita lain.

Pertanyaannya, bolehkah suami mencerai istrinya lalu menikahi wanita lain (hukum mencerai istri tadi bagaimana?), padahal waktu meminang dulu berjanji akan hidup suami-istri sampai tua, tetapi dia tidak tahu kalau istri sakit yang dapat menghalangi persetubuhan?

Pertanyaan Dari:
Anas Fahmi Abdullah, Batang Jawa Tengah

Jawaban:

Janji dalam bahasa Arab disebut  اَلْعَهْدُ . Kata ini sering diartikan pula dengan اَلْعَقْدُ (ikatan). Memang janji itu mengikat terhadap orang yang berjanji dan kadang-kadang mengikat pula terhadap orang yang dijanjikan. Islam mengajarkan agar orang yang berjanji menepati janjinya. Allah swt berfirman:

وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولاً . [الإسراء (17) :34]

Artinya: “Penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggung jawabannya.” [QS. al-Isra’ (17): 34]

Sering kali janji ini dikaitkan dengan syarat atau dijadikan syarat. Semisal seseorang wanita mau dinikahi dengan syarat apabila calon suami berjanji akan tetap memberi kesempatan bagi calon istri untuk melanjutkan studinya. Demikian pula syarat ini mengikat terhadap mereka. Dalam hadits disebutkan:

اَلْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ. [رواه أبو داود و الحاكم عن أبي هريرة]

Artinya: “Orang-orang Islam diwajibkan menepati syarat-syarat mereka.” [HR. Abu Dawud dan al-Hakim dari Abu Hurairah]

Namun syarat yang harus ditaati ialah syarat yang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Allah, misalnya syarat itu tidak mengharamkan yang dihalalkan (dibolehkan) oleh agama atau tidak menghalalkan yang diharamkan oleh agama. Jika syarat itu bertentangan dengan ketentuan Allah, maka syarat itu batal. Rasulullah saw bersabda:

كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ تَعَالَى فَهُوَ بَاطِلٌ وَ إِنْ كَانَ مِائَةُ شَرْطٍ. [رواه الطبرانى عن ابن عباس]

Artinya: “Setiap syarat yang tidak terdapat dalam kitab Allah swt adalah batal, sekalipun jumlahnya seratus syarat.” [HR. ath-Thabrani dari Ibnu Abbas]

Dalam kaitan dengan pertanyaan yang diajukan, jika dicermati, maka:

1. Hubungan antara suami dan istri kurang harmonis. Keadaan ini kurang selaras atau belum/tidak mewujudkan yang diajarkan oleh Islam, karena Islam mengajarkan agar dengan perkawinan itu dapat diperoleh kehidupan yang tenteram penuh kasih sayang. Allah berfirman:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّ رَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُونَ. [الروم (30): 21]

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya,  ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” [QS. ar-Rum (30): 21]

Dalam pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI) huruf f. disebutkan: Perceraian dapat terjadi karena alasan antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

2. Karena sakit yang diderita istri menghalangi persetubuhan. Kondisi seperti ini tidak mewujudkan yang diajarkan dalam Islam, yakni bahwa perkawinan merupakan cara yang terhormat dan sah untuk penyaluran nafsu seksual. Dalam ajaran Islam perkawinan menghalalkan hubungan laki-laki dan perempuan sebagai suami dan istri. Dalam al-Qur’an disebutkan:

فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللهُ . [البقرة (2) :222]

Artinya: “Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperbolehkan Allah kepadamu.” [QS. al-Baqarah (2): 222]

نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ . [البقرة (2) :223]

Artinya: “Istri-istrimu adalah ( seperti ) tanah tempat bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja yang kamu kehendaki.” [QS. al-Baqarah (2): 223]

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ [البقرة (2) :187]

Artinya : “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istrimu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.” [QS. al-Baqarah (2) :187]

Dalam KHI pasal 116 huruf e. disebutkan: Perceraian dapat terjadi karena alasan salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.

3. Dalam perkawinan tersebut tidak diperoleh keturunan, padahal Allah menciptakan manusia dengan disertai naluri berkeinginan memiliki keturunan. Allah berfirman:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ … [آل عمران (3): 14]

Artinya : “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak, …” [QS. Ali Imran (3): 14]

وَ اللهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَ حَفَدَةً وَ رَزَقَكُمْ مِنَ الطَيِّبَاتِ . [النحل (16): 72]

Artinya : “Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri  dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rizki yang baik-baik.” [QS. an-Nahl (16): 72]

Dengan demikian dalam perkawinan sebagai yang saudara kemukakan, karena belum/tidak mewujudkan sepenuhnya yang disebutkan dalam ayat di atas, yakni belum/tidak mewujudkan keinginan untuk memiliki anak.

Berdasarkan keterangan di atas, dapat dipahami bahwa sesungguhnya janji untuk hidup bersama sampai tua sebagaimana yang dikemukakan dalam pertanyaan di atas, jika dipertahankan akan berarti mempertahankan keadaan yang tidak mampu mewujudkan yang disebutkan dalam al-Qur’an, jika tidak mungkin dikatakan sebagai mempertahankan keadaan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan syara’. Oleh karena itu menurut hemat kami janji tersebut tidak harus dipertahankan, karena tidak mencerminkan kemaslahatan yang telah diterangkan dalam al-Qur’an; apalagi sebagaimana telah disebutkan dalam pertanyaan bahwa istri menyarankan suami untuk menceraikan dan kawin lagi. Pernyataan istri ini menunjukkan kerelaannya janji suami tidak berlaku lagi. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa suami dibenarkan menceraikan istrinya dan tidak pula dianggap sebagai melanggar janji.

 

Sumber: Majalah Suara Muhammadiyah, No. 2, 2004

Menceraikan Istri Karena Tidak Bisa Memberikan Keturunan (fatwatarjih.or.id)