Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wr. wb.

Beberapa waktu yang lalu mengisi pengajian di Ranting, ada beberapa pertanyaan yang diutarakan kepada kami yaitu:

  1. Teman saya seorang bendahara partai politik. Baru-baru ini membuka usaha toko, karena ingin mengembangkan usaha diam-diam beliau menggunakan dana partai untuk nambah usaha secara diam-diam, tapi saat yang ditentukan dana juga dikembalikan, bagaimana hukumnya?
  2. Bila penggunaan dana itu hanya sepengetahuan ketua saja bagaimana?

Terima kasih jawabannya.

Pertanyaan Dari:
Haryadi, dengan alamat e-mail: [email protected]
(disidangkan pada Jum’at, 18 Rabiulakhir 1434 H / 1 Maret 2013 M)

Jawaban:

Wa’alaikumussalam wr. wb.

Terima kasih atas pertanyaan anda dan berikut ini jawabannya:

Sebagai orang yang diberi kepercayaan untuk menjabat suatu jabatan dalam sebuah organisasi seperti menjadi ketua, sekretaris, bendahara dan lainnya, ia harus menjalankan jabatan tersebut dengan baik dan profesional, karena jabatan apapun adalah amanah yang harus ditunaikan dengan baik. Allah berfirman:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا

Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” [QS. al-Nisa’ (4): 58]

Allah melarang umat Islam mengkhianati amanat yang diberikan kepadanya dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُون

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” [QS. al-Anfal (8): 27]

Selain itu, hendaknya kita menjalankan amanah tersebut secara transparan dan bertanggung jawab. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan pentingnya transparansi ketika memegang amanah itu dalam hadis berikut:

عَنِ النَّوَّاسِ بْنِ سَمْعَانَ الأَنْصَارِىِّ قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الْبِرِّ وَالإِثْمِ فَقَالَ: الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِى صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ [رواه مسلم]

Artinya: Diriwayatkan dari al-Nawwas bin Sim’an al-Anshari, ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai kebajikan dan dosa, maka beliau menjawab: “Kebajikan ialah akhlak yang baik dan dosa ialah sesuatu yang membuat gundah di dadamu dan kamu tidak suka dilihat orang”.” [HR. Muslim]

Sesuatu yang tidak baik itu biasanya disembunyikan dan tidak suka jika dilihat dan diketahui orang. Ini berarti tidak transparan. Oleh karena itu, supaya transparansi terjaga semua keputusan itu seharusnya dilakukan secara musyawarah. Allah berfirman:

وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ

Artinya: “… dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.” [QS. Ali Imran (3): 159]

Dari paparan di atas dapat dikatakan bahwa perbuatan teman anda di dalam istilah para ulama disebut “al-ta’assuf fi isti’maal al-haqq” (penyalahgunaan wewenang) dan dikhawatirkan atau bahkan sudah termasuk pengkhianatan terhadap amanah yang diberikan kepadanya. Sebagai bendahara partai seharusnya ia menjaga amanat tersebut dan tidak menggunakan dana tersebut untuk kepentingan pribadi.

Apalagi jika hal itu dilakukan secara diam-diam. Itu menunjukkan bahwa perbuatan tersebut tidak transparan sehingga takut diketahui oleh orang lain. Walaupun ia bisa mengembalikan dana tersebut sewaktu dikehendaki namun hal tersebut tetap dilarang. Hari ini ia bisa mengembalikan dana tersebut, namun siapa yang bisa menjamin esok ia bisa mengembalikannya ke kas partai jika diperlukan? Bagaimana kalau usahanya merugi? Bagaimana kalau usahanya ditipu orang? Bagaimana kalau tiba-tiba ada bencana seperti gempa atau tsunami? Bagaimana kalau besok ia sakit atau meninggal dunia? Semua itu memperkuat bahwa perbuatannya menggunakan dana secara diam-diam dan tanpa persetujuan pihak-pihak yang berwenang dalam partai adalah dilarang.

Demikian pula, meskipun hal itu diketahui oleh ketua partai saja. Hal itu tetap tidak baik dan dilarang, dan ketua partai yang mengizinkan juga termasuk melakukan perbuatan yang salah jika ia bukan satu-satunya yang berwenang memberi izin. Perlu diingat, di masa sekarang ini korupsi dan penggelapan seringkali dilakukan secara berjamaah (bersama-sama).

Oleh karena itu, jika salah seorang anggota atau pengurus partai ingin menggunakan dana partai untuk kepentingan pribadi sebaiknya diputuskan secara musyawarah. Lebih dari itu, perlu ada aturan jelas dalam partai tersebut mengenai penggunaan dana partai supaya jelas mana perbuatan yang salah dan mana yang tidak, dan supaya kita tidak memakan harta orang lain secara batil. Allah Subhanahu wa ta’ala Berfirman:

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Artinya: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” [QS. al-Baqarah (2): 188]

Wallahu a’lam bish-shawab.

Sumber: Majalah Suara Muhammadiyah, No. 11, 2013

Pinjam Dana Partai Politik untuk Modal Usaha (fatwatarjih.or.id)